Cari Blog Ini

Kamis, 09 Desember 2010

merangsang otak anak

Selama ini, orang tua hanya memperhatikan perkembangan otak kiri anak. Mereka bangga jika anak pandai berhitung. Tapi, tahu nggak…otak kanan juga perlu mendapat perhatian.
Otak kanan adalah bagian otak yang berkenaan dengan kreativitas, imajinasi yang hidup, orisinalitas, daya cipta dan bakat artistik. Di dunia yang semakin mengarah pada industri kreatif seperti sekarang ini, sungguh disayangkan jika orang tua masih melulu mengurusi kepandaian anak dalam berhitung atau ilmu eksak saja.
Sudah saatnya kita menyeimbangkan fungsi kedua belah otak anak agar kesuksesan dapat dengan mudah diraih anak nantinya.
Ada berbagai cara dalam melatih otak kanan anak. Berikut ini di antaranya:
  1. Hiasi rumah dengan foto, lukisan atau gambar-gambar yang berwarna-warni. Hal ini dapat memicu anak untuk belajar mengobservasi.
  1. Tunjukkan anak beragam kartu dengan gambar dan warna menarik pada suatu waktu yang telah ditentukan, seperti di antara waktu bermain anak. Latihan ini dapat melatih anak mengenali beragam jenis warna.
  1. Perkenalkan dan biasakan anak dengan kegiatan seni dan kerajinan tangan. Tidak perlu yang sulit, cukup dengan mengajak anak melukis dengan tangan, menghias buku dengan stiker, dan kegiatan sederhana lain.
  1. Mendongenglah untuk mereka. Hal ini dapat menggugah imajinasi anak. Ajak mereka untuk melanjutkan cerita, menambahkan tokoh, atau bahkan mengubah alur cerita.
  1. Ajak anak mengikuti irama lagu. Sambil bernyanyi, ajak anak untuk turut berlenggak-lenggok. Awalnya biarkan ia mengikuti gaya kamu, selanjutnya biarkan ia menciptakan gaya tersendiri. Bahkan, ada baiknya jika kamu mengikuti gerakannya.
Kalau boleh, saya mau cerita sedikit tentang anak perempuan saya. Umurnya sudah lima setengah tahun. Berbeda dengan adik laki-lakinya, dia sangaaaat cerewet. Dia pandai bercerita, imajinasinya luas sekali. Kadang, saya sampai takjub.
Bukan hanya itu, ia juga cukup kreatif. Seringkali HP saya tak lagi berada di dalam tas—di mana saya biasa menyimpannya. HP itu sudah digunakan oleh anak perempuan kecil bertubuh gempal itu untuk merekam sekelilingnya dan kemudian ia tonton sendiri.
Setelah saya ingat-ingat, ternyata saya—secara nggak sadar—telah melatih otak kanannya dengan cukup baik. Saya sering membacakan buku atau mendongeng, bahkan semenjak ia masih dalam kandungan. Saya belikan banyaaak sekali buku dengan warna-warna yang menarik.
Akhirnya, agar seimbang fungsi otaknya seimbang, saya pun mengajak dia belajar berhitung secara sederhana untuk merangsang otak kirinya.
Memang, idealnya, otak kanan dan kiri harus seimbang. Tapi, saya sudah dapat melihat bahwa anak perempuan saya itu memiliki kemampuan lebih baik dalam berimajinasi—meski kemampuannya berhitung juga tidak jelek.
Saya dan suami sudah bertekad untuk tidak memaksakan anak kami berprestasi secara akademis di sekolah. Kami justru akan semakin meningkatkan rangsangan terhadap otak kanannya—walau tetap memberikan juga stimulasi bagi otak kirinya.

Sabtu, 13 November 2010

Dalam keramaian, biasanya anak justru akan merasa senang dan juga ceria, namun, bagaimana jika si anak malah menjadi seorang pendiam? Tentu hal ini menjadi sebuah pertanyaan. Bila anak anda mengalami hal demikian, mungkin saja anak anda mengalami gangguan mutism. Untuk itu anda sebagai orangtua harus mengetahui penyebabnya. Buah hati Anda yang periang berubah menjadi anak pendiam saat berada di keramaian atau di sekolah? Bisa jadi, si kecil mengalami mutism.
Bila iya, bagaimana cara mengatasinya? saat berada di rumah, Arida begitu riang. Bocah berusia enam tahun itu juga sangat suka bercanda.
Selain celoteh-celoteh lucu, bocah kecil itu juga tak henti-hentinya bertanya kepada sang bunda tentang sesuatu yang tak diketahuinya. Ia juga sangat suka menceritakan berbagai hal kepada bunda dan ayahnya. Namun, saat berada di sekolah, sikap Arida bertolak belakang. Di sekolah atau di tempat keramaian, ia mengalami kesulitan berkomunikasi.
Mutism, itulah yang dialami Arida. Mutism adalah keadaan anak tidak mau berkomunikasi dengan orang lain, entah itu di sekolah, di tempat bermain atau di keramaian. Di tempat-tempat seperti itulah, anak cenderung betah menutup mulutnya rapat-rapat.
Anak bahkan cenderung tidak menggubris keberadaan anak atau orang lain di sekelilingnya. Padahal, di rumah, anak-anak mutism merupakan anak-anak biasa, yang penuh kepercayaan diri bercerita tentang apa saja. Tentu saja hal ini membingungkan orang tua, atau bahkan guru-guru di sekolah.
Tidak jarang anak mutism atau anak yang menjadi pendiam ketika berada di luar rumah dianggap anak yang tidak bisa bergaul atau bersosialisasi dengan baik. Bahkan, dalam beberapa kasus, ada pula anak mutism yang tidak berbicara dengan guru-gurunya, tetapi berbicara dengan teman-temannya.
Atau ada pula anak yang berbicara dengan ayahnya, namun tidak berbicara dengan ibunya. Anak-anak yang mengalami gejala seperti itu biasanya dikenal dengan istilah selective mutism. Namun sayang sekali, selective mutism bukan sesuatu yang populer di antara orangtua dan guru.
Ketidaktahuan orangtua dan guru mengenai selective mutism ini mengakibatkan berbagai reaksi. Sebagian besar orangtua dan guru menganggap bahwa anak tersebut memang pasif dan pendiam, dan tentunya ini bukan masalah besar bagi mereka karena mereka menganggap masing-masing anak memiliki keunikannya sendiri-sendiri.
Beberapa orangtua bahkan melakukan hal yang lebih ekstrem, misalnya memaksa anak untuk berbicara dengan berbagai cara, seperti memukul supaya anak mau berkomunikasi. Perlakuan yang salah oleh orangtua dan guru dengan cara seperti itu, sebenarnya bukanlah penyelesaian masalah.
Yang harus dicari oleh orangtua ataupun guru adalah mencari apa yang membuat anak tidak mau berbicara. Dunia internasional mengenal selective mutism pada anak sebagai gangguan yang terjadi sebelum usia 5 tahun. Gangguan ini biasanya diketahui saat anak memasuki usia sekolah.
Menurut Pedoman Penggolongan Gangguan Kejiwaan yang dikeluarkan oleh Asosiasi Psikologi Amerika, selective mutism didefinisikan sebagai gangguan yang terjadi saat anak tidak berbicara minimal pada lokasilokasi tertentu yang memerlukan komunikasi, misalnya di rumah saja, di sekolah saja, atau di tempat bermain.
“Untuk mengetahui anak mengalami gangguan selective mutism, ada beberapa ciri yang perlu diperhatikan, seperti anak secara kontinu tidak berbicara pada kegiatan atau tempat tertentu di mana anak diharapkan untuk berbicara, misalnya di sekolah, di tempat les, atau di tempat bermain,” kata psikolog anak dari Universitas Indonesia (UI), Sandra M Psi.
Ciri lain yang bisa memberikan petunjuk kepada orangtua, kalau anak mereka mengalami gangguan selective mutism adalah jika anak tidak berbicara minimal satu bulan, juga kegagalan anak berbicara tidak berhubungan dengan kurang pengetahuan, merasa tidak nyaman.
“Tidak mengerti bahasa yang diucapkan misalnya, bukanlah ciri dari anak yang menderita gangguan selective mutism. Anak dengan gangguan tersebut, biasanya diam tanpa alasan yang jelas,” Sandra menambahkan.
Untuk mengetahui seorang anak mengalami selective mutism, orangtua perlu mendatangi psikolog atau psikiater. Hal itu juga untuk memastikan tidak ada gangguan yang berhubungan dengan fungsi pendengaran dan verbal.
“Sebelumnya orangtua dapat mengunjungi dokter anak atau dokter spesialis THT (tenggorokan, hidung, dan telinga), untuk memastikan apakah anak mengalami kelainan fungsi pendengaran. Jika tidak terdapat gangguan pada pendengaran, segeralah bawa buah hati ke psikolog atau psikiater,” tuturnya.
Selective mutism, menurut Sandra, juga tidak berkaitan dengan gangguan komunikasi lainnya misalnya gagap. Bahkan, anak-anak dengan selective mutism juga menampilkan rasa cemas, rasa malu yang berlebihan, takut dipermalukan secara sosial, dan menarik diri.
“Satu-satunya ciri utama selective mutism pada anak adalah anak tidak berbicara di tempat tertentu atau dengan orang tertentu. Sedangkan gejala secara fisik, sama sekali tidak ada bedanya dengan anak seusianya,” tambah psikolog berambut sebahu tersebut.
Jika anak dibawa ke dokter, Sandra mengatakan, anak akan menjalani pemeriksaan oral-motor yang meliputi pemeriksaan koordinasi dan kekuatan otot mulut, rahang, dan lidah.
“Kalau tidak ditemukan gangguan secara fisik, berarti anak memang mengalami selective mutism yang harus segera ditangani oleh orangtua,” tuturnya lagi.(Okezone.com)

BAGAIMANA JIKA ANAK JADI PENDIAM

Dalam keramaian, biasanya anak justru akan merasa senang dan juga ceria, namun, bagaimana jika si anak malah menjadi seorang pendiam? Tentu hal ini menjadi sebuah pertanyaan. Bila anak anda mengalami hal demikian, mungkin saja anak anda mengalami gangguan mutism. Untuk itu anda sebagai orangtua harus mengetahui penyebabnya. Buah hati Anda yang periang berubah menjadi anak pendiam saat berada di keramaian atau di sekolah? Bisa jadi, si kecil mengalami mutism.
Bila iya, bagaimana cara mengatasinya? saat berada di rumah, Arida begitu riang. Bocah berusia enam tahun itu juga sangat suka bercanda.
Selain celoteh-celoteh lucu, bocah kecil itu juga tak henti-hentinya bertanya kepada sang bunda tentang sesuatu yang tak diketahuinya. Ia juga sangat suka menceritakan berbagai hal kepada bunda dan ayahnya. Namun, saat berada di sekolah, sikap Arida bertolak belakang. Di sekolah atau di tempat keramaian, ia mengalami kesulitan berkomunikasi.
Mutism, itulah yang dialami Arida. Mutism adalah keadaan anak tidak mau berkomunikasi dengan orang lain, entah itu di sekolah, di tempat bermain atau di keramaian. Di tempat-tempat seperti itulah, anak cenderung betah menutup mulutnya rapat-rapat.
Anak bahkan cenderung tidak menggubris keberadaan anak atau orang lain di sekelilingnya. Padahal, di rumah, anak-anak mutism merupakan anak-anak biasa, yang penuh kepercayaan diri bercerita tentang apa saja. Tentu saja hal ini membingungkan orang tua, atau bahkan guru-guru di sekolah.
Tidak jarang anak mutism atau anak yang menjadi pendiam ketika berada di luar rumah dianggap anak yang tidak bisa bergaul atau bersosialisasi dengan baik. Bahkan, dalam beberapa kasus, ada pula anak mutism yang tidak berbicara dengan guru-gurunya, tetapi berbicara dengan teman-temannya.
Atau ada pula anak yang berbicara dengan ayahnya, namun tidak berbicara dengan ibunya. Anak-anak yang mengalami gejala seperti itu biasanya dikenal dengan istilah selective mutism. Namun sayang sekali, selective mutism bukan sesuatu yang populer di antara orangtua dan guru.
Ketidaktahuan orangtua dan guru mengenai selective mutism ini mengakibatkan berbagai reaksi. Sebagian besar orangtua dan guru menganggap bahwa anak tersebut memang pasif dan pendiam, dan tentunya ini bukan masalah besar bagi mereka karena mereka menganggap masing-masing anak memiliki keunikannya sendiri-sendiri.
Beberapa orangtua bahkan melakukan hal yang lebih ekstrem, misalnya memaksa anak untuk berbicara dengan berbagai cara, seperti memukul supaya anak mau berkomunikasi. Perlakuan yang salah oleh orangtua dan guru dengan cara seperti itu, sebenarnya bukanlah penyelesaian masalah.
Yang harus dicari oleh orangtua ataupun guru adalah mencari apa yang membuat anak tidak mau berbicara. Dunia internasional mengenal selective mutism pada anak sebagai gangguan yang terjadi sebelum usia 5 tahun. Gangguan ini biasanya diketahui saat anak memasuki usia sekolah.
Menurut Pedoman Penggolongan Gangguan Kejiwaan yang dikeluarkan oleh Asosiasi Psikologi Amerika, selective mutism didefinisikan sebagai gangguan yang terjadi saat anak tidak berbicara minimal pada lokasilokasi tertentu yang memerlukan komunikasi, misalnya di rumah saja, di sekolah saja, atau di tempat bermain.
“Untuk mengetahui anak mengalami gangguan selective mutism, ada beberapa ciri yang perlu diperhatikan, seperti anak secara kontinu tidak berbicara pada kegiatan atau tempat tertentu di mana anak diharapkan untuk berbicara, misalnya di sekolah, di tempat les, atau di tempat bermain,” kata psikolog anak dari Universitas Indonesia (UI), Sandra M Psi.
Ciri lain yang bisa memberikan petunjuk kepada orangtua, kalau anak mereka mengalami gangguan selective mutism adalah jika anak tidak berbicara minimal satu bulan, juga kegagalan anak berbicara tidak berhubungan dengan kurang pengetahuan, merasa tidak nyaman.
“Tidak mengerti bahasa yang diucapkan misalnya, bukanlah ciri dari anak yang menderita gangguan selective mutism. Anak dengan gangguan tersebut, biasanya diam tanpa alasan yang jelas,” Sandra menambahkan.
Untuk mengetahui seorang anak mengalami selective mutism, orangtua perlu mendatangi psikolog atau psikiater. Hal itu juga untuk memastikan tidak ada gangguan yang berhubungan dengan fungsi pendengaran dan verbal.
“Sebelumnya orangtua dapat mengunjungi dokter anak atau dokter spesialis THT (tenggorokan, hidung, dan telinga), untuk memastikan apakah anak mengalami kelainan fungsi pendengaran. Jika tidak terdapat gangguan pada pendengaran, segeralah bawa buah hati ke psikolog atau psikiater,” tuturnya.
Selective mutism, menurut Sandra, juga tidak berkaitan dengan gangguan komunikasi lainnya misalnya gagap. Bahkan, anak-anak dengan selective mutism juga menampilkan rasa cemas, rasa malu yang berlebihan, takut dipermalukan secara sosial, dan menarik diri.
“Satu-satunya ciri utama selective mutism pada anak adalah anak tidak berbicara di tempat tertentu atau dengan orang tertentu. Sedangkan gejala secara fisik, sama sekali tidak ada bedanya dengan anak seusianya,” tambah psikolog berambut sebahu tersebut.
Jika anak dibawa ke dokter, Sandra mengatakan, anak akan menjalani pemeriksaan oral-motor yang meliputi pemeriksaan koordinasi dan kekuatan otot mulut, rahang, dan lidah.
“Kalau tidak ditemukan gangguan secara fisik, berarti anak memang mengalami selective mutism yang harus segera ditangani oleh orangtua,” tuturnya lagi.(Okezone.com)